Sunday, February 18, 2007

 

Cinta Sebagai Fitroh Manusia*
Oleh: Suko Rahadi**

Harus diakui bahwa malam minggu merupakan malam yang dinanti-nanti. Karena minggu memang malam yang paling tepat untu berweek and ria. Tapi lain dengan Sekaran, kita bisa melihat pasangan mahasiswa berweek end tanpa harus menunggu malam minggu. (maaf ini hanya sejauh pengamatan saya sebagai mahasiswa). Kita juga bisa melihat ruang tamu atau teras kost yang selalu ramai dikunjungi “tamu istimewa” salah satu penghuninya. Aneh,tapi suatu “kewajaran” yang harus kita maklumi.
Saya katakan aneh, karena suasana di kampus sekaran ini “agak lain” dibanding kampus lain. Keanehan tersebut dapat kita lihat misal pada acara diskusi, dialog, orasi ilmiah atau pertunjukkan seni yang sering digelar dengan biaya murah atau bahkan gratis, tapi selalu saja sepi peminat. Tidaklah hal yang aneh, ketika saya mengajak beberapa teman main ke Yogyakarta, mereka terheran-heran (klau tidak mau dikatakan shock) melihat suasana kampus yang selalu ramai dengan diskusi. Saya juga menyebut hal itu sebagai kewajaran, karena memang cinta merupakan fitroh manusia yang tidak dapat kita hindari dan hal inilah yang ingin saya kaji.
Cinta dalam Islam
Ketika pertama kali William Shakespiere memandang seorang wanita bernama Ann Hathoway, yang berusia delapan tahun lebih tua, apakah betul cinta Shakespiere kepada wanita yang kemudian menjdi isterinya itu hanya karena pandangan mata? Tentu saja jawabannya bukan!
Shakespiere bukanlah sastrawan cengeng yang hanya pandai bercinta monyet. Pujangga Inggris itu punya prinsip sesuai filsafat dan peka terhadap segala geliat hidup.
Lalu apa yang membuat ia jatuh cinta pada Ann Hathoway? Nilai dan motivasi cinta Shakespiere itu, bisa kita kuak melalui karya monumentalnya yang berjudul Romeo dan Juliet. Romeo yang sangat mencintai Juliet, dengan “semangat patriotik” rela menghadapi cintanya, sampai keduanya tewas secara tragis.

Dalam konteks global, betulkah cinta hanya karena pandangan mata? Jawabannya tidak! Karena mata hanya organ instrumental yang hanya berfungsi penggetar emosi naluriah dengan muatan potensi cinta. Terbukti, orang buta pun bisa dan memang berhak untuk jatuh cinta.
Mengutip statement yang pernah dilontarkan oleh Rosul Muhammad “Kullu mauludin yulada’ala I fithroti”, setiap manusia yang terlahir pasti dalam keadaan fitroh. Para ulama terdahulu menfsirkan statement tersebut sebagai suatu isyarat bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan suci tanpa dosa, tanpa melihat di mata dilahirkan dan siapa yang melahirkannya. Singkatnya, Islam tidak mengenal dosa turunan. Tapi apakah hanya sebatas itu maksud dari perkataan manusia suci itu? Menurut saya tidak. Kalimat tersebut pasti maksud yang lain. Jika boleh saya tafsirkan, maksud perkataan itu mengisyaratkan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan dibekali berbagai macam potensi, baik itu baik maupun tidak baik. Dan salah satunya potensi tersebut adalah cinta.

Cinta merupakan fitroh manusia. Cinta adalah naluri bawaan (inborn insting) manusia sejak lahir. Sehingga bisa dibilang cinta adalah hidup itu sendiri. Maka, dimana ada manusia di situ pasti ada cinta. Dalam skala manusiawi, rasa cinta itu bisa terekspresikan pada apa saja. Misalnya pada orang tua, saudara, teman sekelas, atau bahkan pada hewan atau tumbuhan.

Dalam skala yang lebih esensial, ekspresi cinta bisa meningkat pada Sang Kholik. Sebab melalui potensi motorik, kognitif dan intelektual, setipa manusia pasti akan berpikir tentang siapa yang menciptakan dirinya dan segala mahluk yang ada di dunia ini. Maka, pada puncak manusia pun ingin menjalin hubungan cinta kasih dengan Tuhan. Seprti yang pernah dilakukan oleh seorang sufi wanita bernama Robiah Al Adawiyah, yang selalu terlena dengan kenikmatan spiritual dan melupakan segala kenikmatan duniawi. Ketika ia dikhitbah oleh seorang ulama ternama dan terkaya di masa itu, iamenolak. Dalam do’anya, Robiah berucap: “Ya Allah, jika aku beribadah hanya karena ingin mendapat surga-Mu, maka tutuplah rapat-rapat pintu surga-Mu untukku. Dan jika aku beribadah hanya karena ingin menghindar dari neraka-Mu maka masukkanlah aku kedalamnya. Namun jika aku beribadah hanya semata-mata ingin melihat diri-Mu maka jangan Kau tolak keinginanku.”
Dorongan ingin mengenal, mendekat, memuji memenuhi perintah dan menjauhi segala larangan-NYA ini oleh Rudolf Otto disebut sebagai sensus numinosum.

Fitroh secara lebih luas dapat diartikan sebagai keinginan dan kemampuan mengenal Sang Kholik secara benar. Namun karena faktor lingkungan (pendidikan dan eluarga misalnya) maka pengenalan akan Tuhan akan berbelok ke arah lain. Dalam kaitannya ini maka tidak benar apa yang dikatakan Freud bahwa perilaku religius maunisa disebabkan frustasi manusia akibat emosi libidonya yang tak tersalurkan.

Demikian juga tak benar apa yang dikatakan filsuf Prancis Henry Brygson, bahwa manusia cenderung hidup beragama karena timbul rasa penghormatan atas hak-hak sosial, atau cuma ekspresi keinginan untuk mengekang egoisme dalam kehidupan sosial. Sungguh salah pendapat yang mengatakan bahwa manusia taat beragama karena ketidakmampuannya menghadapi realitas alam yang begitu dahsyat. Manusia beragama bukan karena sifat alturismenya, dan bukan kompensasi dari rasa takut pada alam tapi karena naluri manuisa itu sendiri yang dalam kandungan telah mengenal cinta pada Kholiqnya, sebagaimana ia mencintai ibu, saudara, teman kuliah.

Antara cinta dan agama
Seorang teman saya pernah berucap, “Ora usah munafik, ora usah ngapusi awake dewe, aku yakin, bocah sing jilbaban utowo sing jenggote mesti podo pengin duwe pacar (tidak usah munafik, tidak usah bohong, saya yakinanak yang berjilbab atau yang berjenggot pasti juga ingin punya pacar -red). Di saat lain ketika salah seorang teman saya menolak ketika diajak nonton “Batman Forever” (film BF-red), ada yang bilang, “Ah, dia sebetulnya mengingkari hati nurani, karena sering keluar masuk masjid”. Mungkin masih banyak ucapan-ucapan senada yang tidak saya dengar. Ucapan-ucapan semacam itu memang benar di satu sisi, tapi salah di sisi yang lain.

Saya katakan benar karena memang harus kita akui bahwa dalam diri kita terdapat rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, meski hanya muncul secuil. Kita tidak bisa menghindar dari apa yang disebut cinta. Namun, apa hanya karena rasa cinta kepada lawan jenis, lantas kita bebas melakukan hal yang belum pantas di lakukan? Sebagai misal, kita berada dalam satu kamar dengan seorang teman yang berlawanan jenis, terlepas apa yang dilakoni di dalam kamar, yang jelas itu mengundang suudzon dari teman lain. Kalau hal semacam itu terus saja dilakoni, lalu apa fungsi diturunkannya agama di dunia ini? Itulah sebabnya saya katakan ucapan semacam itu juga salah di sisi yang lain. Agama mana pun pasti melarang umatnya melanggar norma. Kita hidup di dunia ini diatur oleh agama. Karena agama pada intinya adalah aturan.
Sebenarnya sah-sah saja jika kita ingin pacaran. Karena memang kita di lahirkan membawa potensi cinta. Juga dalam hadist di sabdakan, “Jika kamu mencintai sahabatmu maka sampaikanlah kepada sahabatmu itu.” Namun juga harus diingat bahwa kita punya norma agama. Lalu pacaran yang “bagaimana” yang boleh kitalakukan?
Sampai saat ini belum ada definisi yang jelas tentang pacaran. Belum ada kamusatau kitab yang mengartikan pacaran secara jelas. Lalu bagaimana pacaran versi Islam. Itulah yang perlu kita kaji dan kita renungkan.

* Artikel Kompas Mahasiswa No.62 Th XXI 1998
** Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Fisika dan Ketua Umum IMM Hamka UNNES periode 1998-1999


Comments:
congrat buat IMM Hamka. dah jadi technofreak ya.
 
waduh ada immawan yang muncul dilayar komputer.cara nasukknya piye kui.mlaku dari sekaran po.heztee
 
sekedar barbagi ilmu saja. ketika kita membicarakan cinta, maka pada dasaranya kita sedang menjabarkan tafsir dari kata rahmah. menurut dosen FAI UMY Dr. H.M Anis, kata rahmah terbagi menjadi 4 kata, yaitu kasih sayang, pemurah, lemah lembut dan cinta. ketika kita mengaku menjadi umat islam maka tebarkanlah konsep rahmah dimanapun kita berada
 
imm hamka... kerennn..!!
 
imm hamka.. kereenn..!!
 
Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?