Selanjutnya...

Tuesday, December 26, 2006

 

PRESS CONFERENCE
PESAN DAMAI MENYAMBUT
NATAL, IDUL ADHA 1427 H. DAN TAHUN BARU 2007
SERTA RAPORT PEMERINTAHAN SBY – JK
ORGANISASI KEMAHASISWAAN LINTAS AGAMA



Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM),
Presidium Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI),
Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Budhis Indonesia (PP HIKMAHBUDHI),
Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI),
Pimpinan Pusat Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI).


Terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla (SBY-JK) pada pemilu 2004 lalu yang berjalan secara damai, nyaris tanpa gejolak politik hampir pada semua lapisan masyarakat, tak pelak mendatangkan sebuah harapan besar dari seluruh rakyat agar dimasa-masa mendatang performance sosial, politik, ekonomi, hukum dan pendidikan bangsa Indonesia yang hampir berada diambang kebangkrutan dapat bangkit kembali dengan penuh kedamaian serta jauh dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta kekerasan seperti yang mewarnai kehidupan sosial politik kebangsaan pemerintahan sebelum-sebelumnya. Harapan ini merupakan hal yang wajar karena pasca runtuhnya rezim Orde Baru oleh proses Reformasi 1998, hampir totalitas aspek kehidupan kebangsaan kita masih diwarnai dengan berbagai macam paradoks. Disatu sisi, reformasi membangkitkan gairah kehidupan bangsa kita memperlihatkan kegairahan untuk bangkit dari keterpurukan yang dialaminya, tapi di sisi lain memperlihatkan wajah menegangkan akibat meningkatnya biaya kebutuhan hidup, seperti kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM), mahalnya biaya pendidikan, kelangkaan beras dan lain-lain, bahkan sangat dikhawatirkan akan menjadi bangsa budak akibat utang luar negeri yang melilitnya.

Sejatinya, mandat rakyat kepada Pemeritahan SBY – JK ini hendaknya dilaksanakan sebaik mungkin dengan mengerahkan seluruh potensi pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan Indonesia seperti yang dicita-citakan oleh para pendirinya. Tapi rupanya selama dua tahun memimpin, rakyat malah teralienasi oleh kebijakan pemerintah yang tidak konsisten merefleksikan janji dan ide-ide besarnya pada saat kampanye yang cukup bombastis dan mampu memukau publik sebelum terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pengelolaan negara yang di inginkan rakyat berbanding terbalik dengan kebijakan yang diterapkan pemerintah. Janji SBY yang akan memimpin langsung Reformasi birokrasi, pemberantasan Korupsi, Penyelesaian Kasus-kasus pelanggaran HAM, perbaikan ekonomi, Penyehatan Iklim usaha sehingga mampu menarik investor untuk investasi di Indonesia serta yang lain-lain, kenyataannya saat ini hanyalah lips sevice, ketidak seriusan SBY – JK merealisasikan Janji-janjinya dapat kita simpulkan dari hasil penyelesaian dan penanggulangan berbagai persoalan kebangsaan yang belum menyentuh pada akar persoalan yang melilit bangsa ini antara lain;

Di bidang Politik,
1. Pemerintahan SBY – JK gagal mengangkat citra dan bargainning Politik Indonesia dimata dunia Internasional sebagai negara yang berdaulat dan tidak di dikte oleh negara-bangsa lain,
2. Reformasi birokrasi gagal dilakukan oleh SBY – JK untuk menyuguhkan performance birokrasi pemerintahan yang bersih efektif dan efisien sehingga tidak terjadi penambahan lembaga serta tumpang tindihnya program dan wilayah garapan antar Departemen yang memperbesar pengeluaran negara, dan lain-lain.

Bidang Ekonomi :
1. pemerintah gagal menciptakan lapangan kerja, sehingga memperkecil angka pengangguran terbuka yang terus meningkat dari 9,26% pada tahun 2004, meningkat menjadi 10,26% pada tahun 2005, dan kemudian hingga tahun 2006 meningkat menjadi 11,0%,.
2. Meningkatnya angka kemiskinan yang cukup tajam, pada tahun 2004 jumlah kemiskinan mencapai 36 Juta orag dan pada tahun 2005 masih berkisar 35 juta orang dan kondisi terakhir angka kemiskinan memburuk menjadi 39 Juta orang.
3. Pemerintah gagal menyediakan regulasi distribusi kebutuhan pokok masyarakat sehingga rawan terjadi kelangkaan akibat penimbunan oleh pelaku pasar.
4. Hilangnya political will pemerintah terhadap nasionalisasi Aset-aset bangsa yang di kelola oleh corporite asing yang merugikan bangsa.
5. Dan lain-lain.

Bidang Hukum.
Penyelesaian berbagai kasus pelanggaran Hukum dan HAM serta Korupsi, masih tebang pilih dan hanya diarahkan pada pelaku yang tidak memiliki back up politik dan finansial yang kuat.

Bidang Sosial dan Budaya,
1. Lambannya penanggulangan bencana alam yang di lakukan pemerintah,
2. Eksploitasi kekayaan alam yang merugikan negara dan rakyat baik oleh pihak asing maupun pribumi seperti PT. Freeport, PT. Newmont, PT. Lapindo dan lain-lain adalah wujud kegagalan kontrol dari pemerintah.

Mengacu pada infentarisir kekecewaan rakyat terhadap kebijakan pemerintahan SBY – JK hingga di akhir tahun 2006, maka kami yang tergabung pada Forum Mahasiswa Lintas Agama PP GMKI, PP HIKMAHBUDHI, DPP IMM, PP KMHDI, PP PMKRI, menyatakan sikap sebagai berikut ;
1. Mendesak SBY - JK untuk segera menyelesaikan Kasus-kasus pelanggaran Hukum, HAM dan pemberantasan korupsi yang dimulai dari Istana.
2. Mendesak SBY – JK untuk melakukan nasionalisasi aset-aset bangsa yang tergadaikan kepada pihak asing.
3. Mendesak SBY – JK untuk melakukan Reformasi birokrasi pemerintahan sehingga efektif dan efisien.
4. Jika dalam waktu 6 bulan SBY-JK tidak merealisasikan tuntutan-tuntutan perbaikan nasib rakyat ini, Maka atas nama perbaikan nasib bangsa Kami meminta SBY – JK mundur dari jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Selanjutnya menyambut Hari Natal, Lebaran Iedul Adha serta Tahun Baru 2007, Forum Mahasiswa Lintas Agama menyerukan kepada seluruh umat beragama untuk mari berasama-sama menjaga kedamaian, toleransi serta meningkatkan hubungan antar pemeluk umat beragama sehingga kedamaian hakiki dapat terwjud di bumi nusantara yang kita cintai ini


FORUM MAHASISWA LINTAS AGAMA
PP GMKI GOKLAS N (KETUA UMUM)
PP HIKMAHBUDHI EDDY SETIAWAN (KETUA UMUM)
PP PMKRI IMANUEL TOELAR (KETUA UMUM)
DPP IMM AMIRUDIN (KETUA UMUM )
PP KMHDI WAYAN SUDANE (PRESIDIUM)


Selengkapnya...
 


Sabtu, 16 Desember 2006
www.suara-muhammadiyah.or.id


Pemerintah Membuka Peluang Bagi Perusakan Lingkungan?
Prof.DR. Mujiyono Abdillah, MA.*


Lingkungan alam negeri kita yang dulu sangat indah, subur dan menyejukkan, sekarang berubah menjadi gersang, tandus dan menyesakkan. Hal ini diakibatkan adanya pembabatan hutan, penambangan, penggusuran, dan pembakaran lahan. Kita paham bahwa sebenarnya kerusakan dan perusakan lingkungan ini sebagai masalah struktural, dimana ketidak berdayaan aparat negara dan hukum justru menjadi biang utama. Akhirnya rakyat kecil jua yang selalu menjadi korban dan dikorbankan. Benarkah demikian dan bagiamana pandangan Islam terhadap masalah ini, perlukah adanya Fiqh Lingkungan? Lebih jelasnya berikut kita ikuti wawancara Ton Martono dari SM dengan Prof.DR. Mujiyono Abdillah, MA., Direktur LPER (Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Rakyat), Guru Besar IAIN Walisongo Semarang, Direktur Lembaga Investasi Syari’ah (LIS), Staf Pengajar Ilmu Lingkungan UNDIP dan Ekologi Religi Islam, Penulis buku Teologi Lingkungan Islam dan Fiqh Lingkungan
Kenapa kerusakan dan perusakan lingkungan yang terjadi menjadi sulit diatasi, apakah hal ini disebabkan oleh ketidakberdayaan aparat negara dan hukum dalam mengatasi masalah ini?

Kerusakan lingkungan itu penyebabnya macama-macam, tapi satu diantaranya yang paling serius adalah karena masalah ekonomi. Ekonomi disini bisa jadi karena adanya faktor kemiskinan, jadi siapapun atau masyarakat bahwa merusak lingkungan itu karena terdesak oleh kondisi ekonomi yang miskin, istilah lainnya adalah merusak lingkungan itu karena faktor perut. Dalam keadaan darurat lebih penting lingkungannya atau lebih penting perutnya, kita tahu bahwa di Indonesia ini justru mayoritas masyarakatnya miskin jadi perusakan lingkungan ini bisa jadi karena faktor kemiskinan. Misalnya masyarakat petani yang memiliki lahan yang sangat terbatas otomatis mereka kemudian menggunakan lahan yang terbatas itu secara maksimal, kalau mereka tinggal di daerah pegunungan, maka hutan lindung yang mengitarinya bisa dipastikan dibabat habis untuk kepentingan lahan pertanian, tepian sungai yang seharusnya tidak boleh ditanami dengan tanaman-tanaman semusim, mereka terpaksa menggarap lahan-lahan tepi sungai itu.

Melihat fenomena tadi bagaimana cara mengatasinya?

Solusinya dengan pemberdayaan ekonomi mereka supaya tidak miskin dan tidak merusak lingkungan Jadi mereka menebang kayu di hutan untuk dijual karena faktor kemiskinan, tetapi disisi lain ada orang kuat harta sengaja menenabangi kayu di hutan secara liar bukan karena kemiskinan tetapi karena keserakahan. Pembabatan hutan seperti ini merupakan bentuk kejahatan karena mereka mengakumulasikan dan mengeksploitasi untuk memperkaya diri, salah satu contoh melakukan penambangan, penebangan hutan, yang seharusnya tidak merusak, justru melakukan perusakan dengan menggunakan alat-alat berat ini karena keserakahan untuk menuju hidup tuju turunan. Kalau melihat fenomena tadi penanggulangannya harus dengan pendekatan spiritual agama.

Secara struktural siapa sesungguhnya yang diuntungkan dalam perusakan lingkungan ini?

Secara struktural pemerintah justru membuka peluang dalam perusakan lingkungan, Departemen Kehutanan misalnya mengeluarkan izin prinsip kepada pengusaha tentang galian C , kalau kemudian terjadi kerusakan lingkungan mereka tidak peduli, karena sudah mengantongi izin, memang secara yuridis sudah benar, Tapi kemudian ketika mengadakan eksplorasi dan eksploitasi ditemukan kandungan gas dan minyak mereka dengan rakusnya tidak hanya membabati hutan tapi sekaligus menggali dengan kasarnya, ini jelas kesalahan struktural karena akan terjadi kerusakan yang lebih parah. Karena kesalahan ini merupakan kesalahan struktural maka pertobatannya juga harus secara struktural, eksekutifnya, legislatifnya harus tobat, dan saya kira izin prinsip yang berpeluang menyebabkan kerusakan lingkungan harusa dihentikan.
Kenapa dalam kerusakan dan perusakan lingkungan itu bisa dipastikan rakyat kecil selalu menjadi korban dan dikorbankan?

Karena rakyat kecil itu memiliki nasib yang tidak menguntungkan, meraka tidak mempunyai kekuasaan dan tidak memiliki kekuatan apa-apa, sehingga bila terjadi perusakan dan kerusakan lingkungan rakyat kecil selalu dijadikan korban, bahkan mereka tidak mampu melakukan pembelaan dalam setiap sengketa yang terjadi, karena itu mereka selalu dikalahkan. Yang lebih ironis lagi adalah sudah tahu rakyatnya lemah masih ditindas baik oleh pengusaha maupun oleh pemerintah.

Jadi perusakan dan kerusakan lingkungan itu terjadi sebagai masalah kultural dan moral?

Satu sisi penyebabnya bisa karena kultural dan disisi lain penyebabnya karena masalah moral, bahkan satu lagi penyebabnya karena struktural. Secara moral terjadi karena sekarang ini ada tuntutan materialisme dan hedinistik, bahwa hidup berkelebihan dan hidup bermewah-mewahan ini kan menjadi way of life, hidup serba glamour dan foya-foya baik pengusahanya maupun pejabatnya sama saja.
Melihat fenomena tadi masyarakat menjadi terjangkit untuk melakukan hal yang sama. Supaya hal ini tidak berkembang, maka diperlukan yang namanya etika lingkungan. Dan Islam kan mengajarkan adanya panduan yang namanya etika lingkungan Islam.

Mengapa kearifan kultural lokal yang dulu mampu menjadi penghambat perusakan lingkungan kini kurang berfungsi?

Kearifan lokal yang dulu bersahabat dengan lingkungan itu tumbuh berkembang pada masyarakat yang agraris. Ketika terjadi transformasi perubahan besar dari masyarakat agraris kepada industri, disinilah kearifan lokal itu kemudian bergeser. Di dalam masyarakat tertentu yang masih memiliki kearifan lokal ada upacara-upacara tradisional dalam rangka untuk melestarikan lingkungan, tetapi kemudian saekarang bergeser, satu sisi bergesernya kearifan lokal itu adalah satu sikap perubahan dari transformasi era agraria ke era industrialisasi. Kemudian bisa juga karena rasionalisasi, kearifan lokal itu dulu disebut “ gugon tuhon” artinya nenek moyang kita memiliki keyakinan seperti ini, maka turunannya melakukan upacara ritual, Tapi kemudian rasionalisme yang dangkal dan radikal itu menganggap upacara ritual itu tidak masuk akal seperti sedekah laut, sesaji gunung dan sebagainya, karena Muhammadiyah itu termasuk aliran agama islam yang lebih cenderung rasionalisme maka kemudian ketika melihat upacara ritual itu juga salah satu dakwah Muhammadiyah ini adalah mengiliminasi kearifan lokal tadi (maaf kalau hal ini sedikit menyinggung Muhammadiyah) tanpa pilah-pilah semua itu dianggap tahayul, bid’ah dan khurafat (tbc).

Lalu sekarang ini terjadi keresahan sebab Muhammadiyah diakui atau tidak diakui sebagai salah satu penyebab hilangnya kearifan lokal dalam masyarakat tertentu. Padahal sebenarnya kita harus melakukan resening bahwa kearifan lokal misalnya sedekah bumi, kali, hutan dan sedekah laut substansi dan artikulasi sebenarnya apa yang ada disana, sebenarnya masayarakat nelayan itu adalah masyarakat yang tergantung dengan laut, hidupnya tergantung berkahnya laut oleh karena itu sebagai rasa sukurnya dan rasa terimakasihnya masyarakat terhadap laut maka kemudian mereka melakukan upacara ritual berupa “ larungan” antara lain membawa sesaji sebagai simbul, nah Muhammadiyah melihatnya bukan dari simbolisasinya tetapi musyriknya. Jadi menurut saya yang harus kita tangkap adalah spirit dari kearifannya itu bukan perbuatan musyriknya.

Kenapa secara moral dan etika individu dari warga masyarakat belum bisa menjadi benteng pertahahanan untuk menghambat lajunya perusakan lingkungan?

Kalau kita lihat kasus perkasus sebenarnya banyak semangat etika individu yang melestarikan lingkungan misalnya di Jawa Barat ada seorang nelayan atau petani tambak yang tergiur dengan tren udang maka semua melakukan satu usaha perikanan udang windu yang padat modal tapi memang sekali berhasil milayran rupiah bisa diraup, tetapi bila gagal langsung jatuh, sementara petambak tradisional, penghasilan biasa-biasa saja tidak menyolok, ketika ada orang beramai-ramai menebang pohon bakau ada seorang tokoh lingkungan yang mencegahnya karena pohon bakau merupakan satu ekosistem yang sangat penting. Jadi ada etika moralitas individu untuk kalangan tertentu dan ini perlu kita kembangkan. Masyarakat kita adalah masyarakat primordial, maka perlu ketokohan dan keberhasilan seorang tokoh akan diikuti oleh anggota masyarakat ini barangkali yang perlu kita kembangkan perlu didukung, jadi selain semangat etika dan moral secara individu tetapi juga perlu dukungan moral dari landasan-landasan spiritual, disinilah perlu yang namanya dakwah lingkungan, jadi khotbah-khotbah itu sebaiknya juga diisi dengan upaya pelestarian lingkungan karena itu perlu penyadaran satu sisi adalah melalui nilai positif dari primordialism keteladanan saeseorang tetapi disisi lain perlu juga pencerahan spiritual bahwa ajaran agama kita itu ternyata sangat apresiatif terhadap pelestarian lingkungan. Sekarang ini diakui atau tidak kalangan agamawan itu belum banyak yang peduli terhadap masalah lingkungan. Jadi kerusakan lingkungan itu bukan hanya tanggungjawab individu tetapi merupakan tanggungjawab kita bersama masyarakat, pengusaha, legislatif dan pemerintah.

Melihat fenomena tersebut bagaimana pandangan Islam (ajaran agama) kaitannya dengan masalah lingkungan?

Sebenarnya agama Islam itu sangat netral, tapi kemudian ketika Islam itu berkembang maka bisa jadi seakan-akan Islam permisif terhadap kerusakan lingkungan. Sehingga sekarang ini tergantung bagiaman kita akan mengembangkan agama Islam itu seperti apa, misalnya ketika orang ramai-ramai terkena salah satu paham dan juga terkena imbas perkembangan ilmu dan teknologi, Islam tidak ikut-ikutan karena Islam itu sangat menghargai manusia. Karena manusiaa sebagai makhluk istimewa ciptaan Allah, pemahaman yang seperti ini adalah pemahaman yang kurang bersahabat dengan lingkungan. Karena menganggap bahwa manusia adalah segala-galanya, faham seperti itu hingga sekarang masih ada dan berkembang di lingkungan masyarakat, kalau hal itu dikembangkan terus, berarti mendorong kita untuk merusak lingkungan. Padahal sebenarnya agama Islam itu bisa kita kemas menjadi agama yang holistis, agama yang proporsional dan agama yang ramah terhadap lingkungan, jadi artikulasi keramaham agama terhadap lingkungan ini yang harus kita kembangkan. Mencari rejeki mengelola sumberdaya lingkungan itu dianjurkan tetapi harus ada tanggungjawab, kalau kita mau menggunakan maka kita juga harus bersedia merawat dan melestarikan. Disini ada tiga pilar etika Islam yang pertama adalah asas tanggungjawab yang kedua asas penghematan dan ketiga asas peri kemakhlukan. Jadi dalam Islam dikembangkan bahwa hidup itu harus hemat sebab sumberdaya alam ternyata terbatas, energi matahari juga terbatas, kalau sumber itu sampai habis maka habis pula riwayat manusia. Disamping itu sumber air juga terbatas, maka kita harus hemat air, kita setiap hari menggunakan air tetapi kita tidak pernah berfikir bagaimana kita bertanggungjawab untuk membangun sumber air itu dari mana, bahwa sumebr air itu dari pohon yang bisa menyimpan air. Kita tidak pernah berfikir bahwa jariyah pohon itu termasuk amal jariyah yang bisa melestarikan kehidupan kita. Kalau kita wakaf hanya untuk Masjid untuk pondok pesantren, untuk sekolahan tetapi kita tidak pernah wakaf untuk hutan, untuk taman,dan seterusnya, kita bikin rumah tetapi tidak pernah befikir bagaimana membuat sumur resapan. Jadi kalau kita mau membangun apa saja harus memiliki tanggungjawab bahwa sumebr air itu asalnya dari mana, nah disitulah sebenarnya kami mengembangkan yang namanya Fiqh Lingkungan.

Apa yang dimaksud Fiqh Lingkungan itu?

Sebagai penjabaran dari agama Islam yang kita yakini adalah ramah terhadap lingkungan, maka untuk bisa dijabarkan dalam panduan-panduan yang lebih operasional, nah disitulah adanya pedomena yang disebut sebagai Fiqh Lingkungan. Fiqh Lingkungan itu diperlukan untuk panduan opersional dalam membangun fasilitas kehidupan manusia dengan dilengkapi lingkungan yang asri taman-taman yang rindang sejuk dan indah dipandang konsep ini sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Ton.

* Guru besar IAIN Walisongo Semarang



Selengkapnya...

Friday, December 15, 2006

 

Membangkitkan Dinamika Internal Muhammadiyah*

Muhammadiyah lahir dan mekar karena sebuah keyakinan, paham, dan tekad perjuangan yang fundamental dari pendirinya. Kyai Haji Ahmad Dahlan melahirkan Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai hasil dari suatu proses pergumulan yang penuh pertaruhan, baik dari segi pemikiran maupun perjuangannya. Jadi tidak sembarang lahir, tumbuh, dan berkembang secara kebetulan atau apa adanya. Menurut Nurcholish Madjid (1983: 310), Kyai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati, yang melahirkan pembaruan Islam, dan pembaruannya luar biasa karena tidak mengalami prakondisi sebelumnya (break-throught) .

Dari rahim pergumulan yang mendasar itu lahirlah gerakan Muhammadiyah yang berjuang ”menyebarluaskan” dan ”memajukan” ajaran Islam, mula-mula di wilayah residensi Yogyakarta, kemudian meluas ke seluruh Indonesia. Dengan ruh dan pemahaman Islam yang demikian, maka berdirinya Muhammadiyah memiliki konteks ketika umat dalam keadaan jumud dan terbelakang, yang memerlukan sebuah gerakan Islam, yang menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama sebagaimana dipraktikkan oleh umat Islam selama ini, yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai ”a Way of Life in all Aspects”, suatu sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya (Djarnawi Hadikusuma, t.t: 68).
Muhammadiyah juga lahir dalam bentuk sebuah gerakan Islam, bukan sekadar pemikiran atau wacana. Menurut H. Djarnawi Hadikusuma, Kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah karena dalam sanubarinya tertanam dorongan Al-Quran Surat Ali Imran ayat 104, yang belakangan sering disebut ”ayat Muhammadiyah” , yakni:
Artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung”.
Ayat Al-Quran tersebut, yang sering dikaitkan dengan ayat ke-110 pada Surat yang sama, merupakan ayat pergerakan. Belakangan, ayat tersebut juga sering dipakai dan menjadi ikon bagi gerakan-gerakan Islam di dunia Muslim kontemporer. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang ”hidup berorganisasi” . Maka tidak berlebihan jika dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, ”melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi”, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, secara praktis-organisator is untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911 (Adaby Darban, 2000: 13). Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Di sini, organisasi pun diperlukan untuk memayungi dan mengendalikan lembaga-lembaga gerakan dalam Muhammadiyah. Lembaga-lembaga yang berada dalam Muhammadiyah pun, termasuk amal usahanya, harus menyatukan diri (berada dalam syarikat) Muhammadiyah, bukan sebagai ”kerajaan-kerajaan sendiri”.
Kyai Dahlan, dengan paham agamanya yang bersifat tajdid, juga melahirkan teologi ”praksisme” Al-Ma‘un, sebuah terobosan tipikal dan cerdas, mirip ”teologi pembebasan” dalam pemikiran dan gerakan kontemporer, yang kemudian dilembagakan menjadi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) yang kini menjadi PKU (Pembina Kesejahteraan Umat). Kesimpulannya apa? Bahwa selain produk pemikiran, kelahiran amal usaha Muhammadiyah terikat dengan misi dan ikatan organisasi Muhammadiyah. Jadi, bukan sembarang amal usaha, dan dilepaskan tergantung siapa yang mengelolanya, tetapi milik dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari Muhammadiyah. Karena itu, mempertahankan, membesarkan, dan mengembangkan amal usaha Muhammadiyah pun harus menjadi komitmen seluruh yang ada di dalam Persyarikatan. Lebih-lebih bagi mereka yang berada dalam lingkungan amal usaha Muhammadiyah.
Kyai Dahlan, yang diikuti para murid dan pelanjutnya, juga membesarkan Muhammadiyah dengan perjuangan yang gigih. Ketika dokter dan para sahabatnya, bahkan istri tercintanya meminta beliau untuk beristirahat karena sakit, Kyai bahkan menganggap anjuran itu sebagai ”bisikan syaitan”. Ketika diancam untuk tidak hadir ke Banyuwangi dan bila tetap memaksakan diri akan dibunuh, Kyai Dahlan bahkan mendatangi kota di ujung Jawa Timur itu, yang ternyata tak apa-apa bahkan akhirnya di sana berdiri Cabang Muhammadiyah. Kyai Dahlan tidak ingin menghentikan langkahnya, karena merupakan tonggak penentu keberadaan Muhammadiyah yang akan lebih memudahkan bagi generasi pelanjutnya. Di belakang hari, para penerus Muhammadiyah pun membesarkan gerakan Islam tercinta ini dengan semangat yang ikhlas, gigih, cerdas, dan penuh pengorbanan. Hingga Muhammadiyah mampu meretas usia jelang satu abad saat ini.

Muhammadiyah dalam praktik gerakannya juga tumbuh dari bawah. Ranting bahkan menjadi basis gerakan Muhammadiyah. Ranting berfungsi sebagai pembina jama‘ah. Keberadaan Ranting bahkan harus mensyaratkan adanya kegiatan, seperti pengajian, dan sebagainya. Jadi mendirikan Ranting bukanlah simbolik dan formalistik, tetapi harus menjadi bagian dan memenuhi persyaratan sebagai sebuah gerakan. Karena itu, Muhammadiyah menjadi gerakan yang terus bergerak. Menurut K.H. AR. Fakhruddin, jika Muhammadiyah tidak bergerak, maka bukan Gerakan Islam. Orang Muhammadiyah harus gigih, kreatif, dinamis, tidak ”mutungan” (mudah patah arang) dan ”wegahan” (malas), dan gerakannya harus dirasakan oleh semua orang (AR Fakhruddin, dalam Sujarwanto dan Haedar Nashir, 1900: 318-319). Jadi Muhammadiyah dan seluruh anggota Persyarikatan, tidak boleh diam dan statis, tetapi harus bergerak secara dinamis. Itulah etos gerakan Muhammadiyah yang harus dibangkitkan, yakni dinamika internal atau dinamika inti gerakan Muhammadiyah.
Kini, muncul gejala dan fakta dari akar-rumput yang mulai memprihatinkan. Masjid Muhammadiyah tidak terkelola dengan baik, cari imam dan khatib pun kesulitan. Terdapat pula masjid milik Persyarikatan yang pelaku dan isi kegiatannya justru dilakukan kalangan lain. Bahkan ada masjid Muhammadiyah yang kemudian pindah kelola ke tangan pihak lain, baik karena terlantar atau karena kelalaian. Gejala tersebut menurut sementara pendapat, menunjukan bahwa orang-orang Muhammadiyah kurang/tidak tekun, gigih, dan sungguh-sungguh mengelola masjid di lingkungannya.
Berita lain tak kalah mencemaskan atau bahkan memprihatinkan. Bahwa amal usaha Muhammadiyah di tingkat bawah mulai kalah saing oleh lembaga-lembaga sejenis baru milik organisasi lain. Ironisnya, terdapat pula orang-orang Muhammadiyah termasuk pimpinan atau yang berada di amal usaha, malah ikut mendirikan dan membesarkan amal usaha milik organisasi lain. Lebih ironis lagi apa yang disampaikan oleh dua bersaudara, K.H. Muhammad Muqoddas, M.Ag. yang juga Ketua PP Muhammadiyah dan Muhammad Busyro Muqoddas, SH. yang juga Ketua Komisi Yudisial, terdapat gejala orang-orang di amal usaha yang bersikap, ”amal usaha yes, Muhammadiyah no!”, lebih khusus lagi ”maisah di amal usaha yes, membesarkan Muhammadiyah no!”. Atau sikap yang mendua lainnya, baik dalam berorganisasi maupun sikap ideologis dan keagamaannya.
Bagaimana menyikapi masalah tersebut. Secara internal atau ke dalam tentu saja merupakan bahan introspeksi bagi seluruh jajaran Muhammadiyah. Dari segi ini, semua itu terjadi karena kelemahan dan kelengahan internal Muhammadiyah sendiri. Kelemahan tersebut berkisar antara lain:
(1) terlambat atau tidak meningkatkan kualitas dan intensitas pengelolaan masjid dan amal usaha secara optimal dan secara lebih baik;
(2) abai atau lalai dalam menjaga milik sendiri;
(3) tidak selektif dalam menerima anggota atau mereka yang bekerja di amal usaha dan kurang pembinaan;
(4) kurang atau tidak memiliki militansi yang tinggi, berkiprah apa adanya, dan berbuat sendiri-sendiri atau sibuk sendiri tanpa terkait dengan kepentingan Muhammadiyah;
(5) lebih tertarik pada urusan politik dan hal-hal yang bersifat mobilitas diri serta tidak peduli pada kepentingan dakwah dan menggerakkan Muhammadiyah;
(6) kurang solid dan konsolidasi gerakan;
(7) kurang/lemah komitmen, pemahaman, dan pengkhidmatan terhadap misi serta kepentingan Persyarikatan.

Karena itu diperlukan langkah-langkah peneguhan dan konsolidasi internal yang kokoh dan terprogram dari Muhammadiyah sendiri. Langkah internal tersebut antara lain:
(a) menanamkan kembali kepada anggota mengenai hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam agar seluruh anggota Persyarikatan yakin dan paham betul akan kebenaran Islam yang menjadi misi utama Muhammadiyah, sehingga tidak ragu-ragu dan tidak memilih gerakan lain;
(b) memahami dan menghayati secara mendalam mengenai hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid, sehingga mereka berada dalam posisi untuk menampilkan Islam yang bersifat pemurnian sekaligus pembaruann, tidak semata-mata pemurnian ala Wahabiyah atau Salafy yang rigid, juga sebaliknya tidak terjebak pada sekularisasi pemikiran Islam yang lepas dari sumbu dasar Islam;
(c) Menggerakkan Muhammadiyah dalam melaksanakan dakwah dan tajdid melalui usaha-usahanya secara ikhlas, sungguh-sungguh, gigih, dan berkelanjutan; sehingga secara istiqamah dan militan menjadi kekuatan umat yang berjuang menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya;
(d) Menggalang ukhuwah dan soliditas internal gerakan sehingga menjadi kekuatan yang kokoh; tidak tercerai-berai, dan tidak berpaling ke gerakan lain apapun bentuknya apalagi gerakan politik kendati bersayap dakwah sebab Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah yang sudah teruji dan tidak ada kepentingan politik kekuasaan;
(e) Mengembangkan sistem gerakan melalui penguatan jama‘ah, jam‘iyah, dan imamah sehingga gerak Muhammadiyah berjalan secara terorganisasi dan kuat; memiliki disiplin organisasi yang tinggi, dan semuanya hanya bernaung dalam sistem Muhammadiyah secara utuh;
(f) Menyiapkan sumberdaya manusia dan kader yang unggul, militan, cerdas, dan siap membela organisasi dengan istiqamah dan rasa memiliki dan berkomitmen yang tinggi;
(g) Menata dan mengkonsolidasi kembali seluruh amal usaha sebagai alat/kepanjangan misi Persyarikatan sekaligus ajang kaderisasi Muhammadiyah, termasuk menyeleksi dan membina seluruh orang yang berkiprah di dalamnya, sehingga amal usaha itu benar-benar mengikatkan, memposisikan, dan memfungsikan diri sebagai milik Muhammadiyah, dan bukan milik mereka yang berada di amal usaha apalagi nilik organisasi lain; yang harus dikelola dengan sistem dan disiplin organisasi Muhammadiyah;
(h) bersikap tegas terhadap organisasi manapun yang masuk dan dapat mengganggu tatanan serta kelangsungan Muhammadiyah, lebih-lebih terhadap partai politik apapun termasuk partai politik yang mengemban misi dakwah sebagai mereka adalah organisasi lain yang berada di luar; bahwa semuanya harus dibingkai ukhuwah tentu saja tetapi harus bersikap timbal-balik dan saling mengormati;
(i) Melakukan langkah-langkah pembinaan anggota secara intensif dan sistematik dengan pendekatan-pendekat an klasik dan baru agar tumbuh sebagai anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyahh yang istiqamah dan membela sepenuh hati misi serta kepentingan Muhammadiyah, lebih-lebih di saat kritis dan harus memilih;
(j) Mengembangkan usaha dan kemampuan-kemampuan kompetitif serta jaringan-jaringan kerjasama secara independen dengan pihak manapun sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan yang unggul dan dirasakan kehadirannya sebagaimana layaknya gerakan Islam yang terbesar di negeri ini.

Segenap anggota Muhammadiyah, lebih-lebih pimpinannya harus sungguh-sungguh meyakini dan memahami bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan selalu berada dalam garis atau relnya yang benar. Jika kebetulan ada anggota Muhammadiyah termasuk yang berada di amal usaha diberi kelebihan harta, pikiran, tenaga, relasi, dan anugerah lainnya, kenapa tidak disalurkan dan dimanfaatkan untuk membesarkan dan mengembangkan amal usaha dan dakwah Muhammadiyah? Sikap seperti itu sungguh mulia dan menunjukkan komitmen yang tinggi erhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah juga bekerja tiada lain lil-‘izzat al-Islam wa al-muslimin. Bukan untuk Muhammadiyah, tetapi untuk umat dan bangsa, untuk menjadi rahmat bagi semesta kehidupan.

Setiap anggota Muhammadiyah dituntut untuk berhajat dan berkiprah sepenuh hati melalui Muhammadiyah. Bahwa merawat dan sadar akan miliki sendiri, baik dari penyakit internal maupun dari luar, sesungguhnya merupakan sikap menjaga ”marwah” (kehormatan) dan ”muru‘ah” (rasa malu) sebagaimana layaknya orang yang memiliki independensi dalam berorganisasi. Menjaga ghirah gerakan. Sikap yang demikian bukanlah sikap ekstrem atau keras, apalagi mengobarkan konflik. Kalau mau dikatakan fanatik, boleh juga, karena apalah arti berorganisasi manakala tak ada fanatisme. Soal fanatisme-buta, yang salah bukan fanatiknya, tetapi buta-nya. Setiap anggota Muhammadiyah berhak membela misi dan kepentingan Muhammadiyah, sebagaimana anggota gerakan Islam lainnya membela misi dan kepentingannya.

Dengan meminjam logika ”maqasid al-syari‘at” dalam tradisi Islam klasik, bahkan kita diajari untuk bersikap ”syaja‘ah” (berani karena benar) untuk melakukan proteksi diri berupa ”hifdl al-din” (memelihara agama), ”hifdl al-nafs” (memelihara jiwa), ”hifdl al-nasl” (memelihara keturunan), ”hifd al-mal” (memelihara harta), ”hifd al-‘aql” (memelihara akal pikiran), bahkan memelihara kehormatan (hifdl al-ardl). Orang Islam memang tidak boleh bersikap nekad (tahawwur, jangankan benar, salah pun berani). Namun juga dilarang bersikap ”jubun” (pengecut), jangankan salah, benar pun takut. Lalu, munculah sikap selalu mencari aman, mencari mudah, dan apapun yang terjadi dianggap baik. Bersikap tegas dianggap keras dan suka konflik, kendati untuk menjaga kehormatan dan keberadaan organisasi. Tenang-tenang saja, tapi juga tidak bertindak. Jangan gaduh dan harus cantik menyikapi, namun tidak pula muncul sikap yang tegas, sebatas retorika. Akhirnya, tidak terasa lama kelamaan Muhammadiyah melemah, amal usahanya pun satu persatu susut atau bahkan lepas.
Soal kita memiliki kelemahan? Introspeksi? Muhasabah diri. Pasti, itu memang dirasakan dan diakui, yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan tak kenal henti. Bahkan organisasi yang besar seperti Muhammadiyah kata Pak AR Fakhruddin (Allahu yarham), laksana gajah bengkak. Namun, sadar akan kelemahan diri kita, bukan berarti harus membutakan diri dari penyakit yang datang dari luar. Bukan berarti membiarkan pengeroposan organisasi berlangsung tanpa antisipasi dan penyikapan. Apalagi kemudian membiarkan organisasi Muhammadiyah menjadi kian rentan. Jika tahu ada kelemahan, kenapa tidak bergerak? Kenapa tidak segera berbuat? Jangan sampai, sikap mengakui kelemahan itu, pada saat yang sama karena tidak mau sungguh-sungguh berbuat memperbaikiki kelemahan sekaligus mau bersikap tegas dalam bebnetngi organisasi dari gangguan yang datang dari luar. Paling repot, sudak tidak berbuat dan bersikap, melemah-lemahkan diri sendiri sambil tidak melakukan penguatan, karena hati bimbang dan sulit bersikap tegas. Padahal, salah satu sikap kader dan pimpinan organisasi ialah bersikap tegas, dengan tetap cerdas dan arif.

Mari kita jadikan semua peristiwa yang kurang bagus di tubuh Muhammadiyah itu sebagai ujian, cobaan, hikmah, dan tempaan untuk bangkit dan berbuat. Tapi, sebelum bangkit dan berbuat, mulailah dari kesadaran adanya masalah. Jangan membutakan diri dari masalah, sebab nanti lama kelamaan masalah kecil kian membesar, lalu setelah segala sesuatunya terlanjur kita tak mampu mengendalikan dan mencari pemecahan. Kata pepatah, sesal kemudian tak ada gunanya. Lagi pula, memang mana ada sesal yang datang di waktu awal, itu namanya sesal yang salah kaprah. Memecahkan masalah pun tentu tak harus ekstrem, tetapi juga harus jelas dan sistematik. Setahap demi setahap pun tak masalah, yang penting ada kesadaran, itikad, dan tindakan. Bukan helah, menghindar dari masalah. Sabda Nabi, ”khair al-’amal adwamu-ha wa in qala”. Amal yang baik ialah yang berkelanjutan, kendati sedikit. Apalagi jika amal itu besar dan sistematik, maka akan menjadi lebih baik lagi.

Dari mana memulai? Setelah sadar adanya masalah, lantas bangkitlah melakukan ikhtiar atau tindakan-tindakan tersistem secara terorganisasai, selain melalui jalur-jalur individu sebagai penguat dan pendukung. Bangkitkan etos gerakan dari dalam secara serius dan memiliki vitalitas tinggi. Gerakkan seluruh lini Persyarikatan, termasuk amal usahanya secara bersama-sama dan tersistem. Langkah organisasi, lebih-lebih yang bersifat penting dan strategis, sungguh memerlukan kesungguhan (jihad) dan sikap kolektif yang menyatu/bersinergi, tidak bercerai-berai, laksana sebuah barisan yang kokoh sebagaimana firman Allah SWT.:

”Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS. Ash-Shaff/61: 4). Semoga Allah melimpahkan ridla dan karunia-Nya kepada kita.
Nashrun min Allah wa fathun qarib.
*Dr. Haedar Nashir (PP Muhammadiyah)

Selengkapnya...

This page is powered by Blogger. Isn't yours?