Tuesday, December 26, 2006

 


Sabtu, 16 Desember 2006
www.suara-muhammadiyah.or.id


Pemerintah Membuka Peluang Bagi Perusakan Lingkungan?
Prof.DR. Mujiyono Abdillah, MA.*


Lingkungan alam negeri kita yang dulu sangat indah, subur dan menyejukkan, sekarang berubah menjadi gersang, tandus dan menyesakkan. Hal ini diakibatkan adanya pembabatan hutan, penambangan, penggusuran, dan pembakaran lahan. Kita paham bahwa sebenarnya kerusakan dan perusakan lingkungan ini sebagai masalah struktural, dimana ketidak berdayaan aparat negara dan hukum justru menjadi biang utama. Akhirnya rakyat kecil jua yang selalu menjadi korban dan dikorbankan. Benarkah demikian dan bagiamana pandangan Islam terhadap masalah ini, perlukah adanya Fiqh Lingkungan? Lebih jelasnya berikut kita ikuti wawancara Ton Martono dari SM dengan Prof.DR. Mujiyono Abdillah, MA., Direktur LPER (Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Rakyat), Guru Besar IAIN Walisongo Semarang, Direktur Lembaga Investasi Syari’ah (LIS), Staf Pengajar Ilmu Lingkungan UNDIP dan Ekologi Religi Islam, Penulis buku Teologi Lingkungan Islam dan Fiqh Lingkungan
Kenapa kerusakan dan perusakan lingkungan yang terjadi menjadi sulit diatasi, apakah hal ini disebabkan oleh ketidakberdayaan aparat negara dan hukum dalam mengatasi masalah ini?

Kerusakan lingkungan itu penyebabnya macama-macam, tapi satu diantaranya yang paling serius adalah karena masalah ekonomi. Ekonomi disini bisa jadi karena adanya faktor kemiskinan, jadi siapapun atau masyarakat bahwa merusak lingkungan itu karena terdesak oleh kondisi ekonomi yang miskin, istilah lainnya adalah merusak lingkungan itu karena faktor perut. Dalam keadaan darurat lebih penting lingkungannya atau lebih penting perutnya, kita tahu bahwa di Indonesia ini justru mayoritas masyarakatnya miskin jadi perusakan lingkungan ini bisa jadi karena faktor kemiskinan. Misalnya masyarakat petani yang memiliki lahan yang sangat terbatas otomatis mereka kemudian menggunakan lahan yang terbatas itu secara maksimal, kalau mereka tinggal di daerah pegunungan, maka hutan lindung yang mengitarinya bisa dipastikan dibabat habis untuk kepentingan lahan pertanian, tepian sungai yang seharusnya tidak boleh ditanami dengan tanaman-tanaman semusim, mereka terpaksa menggarap lahan-lahan tepi sungai itu.

Melihat fenomena tadi bagaimana cara mengatasinya?

Solusinya dengan pemberdayaan ekonomi mereka supaya tidak miskin dan tidak merusak lingkungan Jadi mereka menebang kayu di hutan untuk dijual karena faktor kemiskinan, tetapi disisi lain ada orang kuat harta sengaja menenabangi kayu di hutan secara liar bukan karena kemiskinan tetapi karena keserakahan. Pembabatan hutan seperti ini merupakan bentuk kejahatan karena mereka mengakumulasikan dan mengeksploitasi untuk memperkaya diri, salah satu contoh melakukan penambangan, penebangan hutan, yang seharusnya tidak merusak, justru melakukan perusakan dengan menggunakan alat-alat berat ini karena keserakahan untuk menuju hidup tuju turunan. Kalau melihat fenomena tadi penanggulangannya harus dengan pendekatan spiritual agama.

Secara struktural siapa sesungguhnya yang diuntungkan dalam perusakan lingkungan ini?

Secara struktural pemerintah justru membuka peluang dalam perusakan lingkungan, Departemen Kehutanan misalnya mengeluarkan izin prinsip kepada pengusaha tentang galian C , kalau kemudian terjadi kerusakan lingkungan mereka tidak peduli, karena sudah mengantongi izin, memang secara yuridis sudah benar, Tapi kemudian ketika mengadakan eksplorasi dan eksploitasi ditemukan kandungan gas dan minyak mereka dengan rakusnya tidak hanya membabati hutan tapi sekaligus menggali dengan kasarnya, ini jelas kesalahan struktural karena akan terjadi kerusakan yang lebih parah. Karena kesalahan ini merupakan kesalahan struktural maka pertobatannya juga harus secara struktural, eksekutifnya, legislatifnya harus tobat, dan saya kira izin prinsip yang berpeluang menyebabkan kerusakan lingkungan harusa dihentikan.
Kenapa dalam kerusakan dan perusakan lingkungan itu bisa dipastikan rakyat kecil selalu menjadi korban dan dikorbankan?

Karena rakyat kecil itu memiliki nasib yang tidak menguntungkan, meraka tidak mempunyai kekuasaan dan tidak memiliki kekuatan apa-apa, sehingga bila terjadi perusakan dan kerusakan lingkungan rakyat kecil selalu dijadikan korban, bahkan mereka tidak mampu melakukan pembelaan dalam setiap sengketa yang terjadi, karena itu mereka selalu dikalahkan. Yang lebih ironis lagi adalah sudah tahu rakyatnya lemah masih ditindas baik oleh pengusaha maupun oleh pemerintah.

Jadi perusakan dan kerusakan lingkungan itu terjadi sebagai masalah kultural dan moral?

Satu sisi penyebabnya bisa karena kultural dan disisi lain penyebabnya karena masalah moral, bahkan satu lagi penyebabnya karena struktural. Secara moral terjadi karena sekarang ini ada tuntutan materialisme dan hedinistik, bahwa hidup berkelebihan dan hidup bermewah-mewahan ini kan menjadi way of life, hidup serba glamour dan foya-foya baik pengusahanya maupun pejabatnya sama saja.
Melihat fenomena tadi masyarakat menjadi terjangkit untuk melakukan hal yang sama. Supaya hal ini tidak berkembang, maka diperlukan yang namanya etika lingkungan. Dan Islam kan mengajarkan adanya panduan yang namanya etika lingkungan Islam.

Mengapa kearifan kultural lokal yang dulu mampu menjadi penghambat perusakan lingkungan kini kurang berfungsi?

Kearifan lokal yang dulu bersahabat dengan lingkungan itu tumbuh berkembang pada masyarakat yang agraris. Ketika terjadi transformasi perubahan besar dari masyarakat agraris kepada industri, disinilah kearifan lokal itu kemudian bergeser. Di dalam masyarakat tertentu yang masih memiliki kearifan lokal ada upacara-upacara tradisional dalam rangka untuk melestarikan lingkungan, tetapi kemudian saekarang bergeser, satu sisi bergesernya kearifan lokal itu adalah satu sikap perubahan dari transformasi era agraria ke era industrialisasi. Kemudian bisa juga karena rasionalisasi, kearifan lokal itu dulu disebut “ gugon tuhon” artinya nenek moyang kita memiliki keyakinan seperti ini, maka turunannya melakukan upacara ritual, Tapi kemudian rasionalisme yang dangkal dan radikal itu menganggap upacara ritual itu tidak masuk akal seperti sedekah laut, sesaji gunung dan sebagainya, karena Muhammadiyah itu termasuk aliran agama islam yang lebih cenderung rasionalisme maka kemudian ketika melihat upacara ritual itu juga salah satu dakwah Muhammadiyah ini adalah mengiliminasi kearifan lokal tadi (maaf kalau hal ini sedikit menyinggung Muhammadiyah) tanpa pilah-pilah semua itu dianggap tahayul, bid’ah dan khurafat (tbc).

Lalu sekarang ini terjadi keresahan sebab Muhammadiyah diakui atau tidak diakui sebagai salah satu penyebab hilangnya kearifan lokal dalam masyarakat tertentu. Padahal sebenarnya kita harus melakukan resening bahwa kearifan lokal misalnya sedekah bumi, kali, hutan dan sedekah laut substansi dan artikulasi sebenarnya apa yang ada disana, sebenarnya masayarakat nelayan itu adalah masyarakat yang tergantung dengan laut, hidupnya tergantung berkahnya laut oleh karena itu sebagai rasa sukurnya dan rasa terimakasihnya masyarakat terhadap laut maka kemudian mereka melakukan upacara ritual berupa “ larungan” antara lain membawa sesaji sebagai simbul, nah Muhammadiyah melihatnya bukan dari simbolisasinya tetapi musyriknya. Jadi menurut saya yang harus kita tangkap adalah spirit dari kearifannya itu bukan perbuatan musyriknya.

Kenapa secara moral dan etika individu dari warga masyarakat belum bisa menjadi benteng pertahahanan untuk menghambat lajunya perusakan lingkungan?

Kalau kita lihat kasus perkasus sebenarnya banyak semangat etika individu yang melestarikan lingkungan misalnya di Jawa Barat ada seorang nelayan atau petani tambak yang tergiur dengan tren udang maka semua melakukan satu usaha perikanan udang windu yang padat modal tapi memang sekali berhasil milayran rupiah bisa diraup, tetapi bila gagal langsung jatuh, sementara petambak tradisional, penghasilan biasa-biasa saja tidak menyolok, ketika ada orang beramai-ramai menebang pohon bakau ada seorang tokoh lingkungan yang mencegahnya karena pohon bakau merupakan satu ekosistem yang sangat penting. Jadi ada etika moralitas individu untuk kalangan tertentu dan ini perlu kita kembangkan. Masyarakat kita adalah masyarakat primordial, maka perlu ketokohan dan keberhasilan seorang tokoh akan diikuti oleh anggota masyarakat ini barangkali yang perlu kita kembangkan perlu didukung, jadi selain semangat etika dan moral secara individu tetapi juga perlu dukungan moral dari landasan-landasan spiritual, disinilah perlu yang namanya dakwah lingkungan, jadi khotbah-khotbah itu sebaiknya juga diisi dengan upaya pelestarian lingkungan karena itu perlu penyadaran satu sisi adalah melalui nilai positif dari primordialism keteladanan saeseorang tetapi disisi lain perlu juga pencerahan spiritual bahwa ajaran agama kita itu ternyata sangat apresiatif terhadap pelestarian lingkungan. Sekarang ini diakui atau tidak kalangan agamawan itu belum banyak yang peduli terhadap masalah lingkungan. Jadi kerusakan lingkungan itu bukan hanya tanggungjawab individu tetapi merupakan tanggungjawab kita bersama masyarakat, pengusaha, legislatif dan pemerintah.

Melihat fenomena tersebut bagaimana pandangan Islam (ajaran agama) kaitannya dengan masalah lingkungan?

Sebenarnya agama Islam itu sangat netral, tapi kemudian ketika Islam itu berkembang maka bisa jadi seakan-akan Islam permisif terhadap kerusakan lingkungan. Sehingga sekarang ini tergantung bagiaman kita akan mengembangkan agama Islam itu seperti apa, misalnya ketika orang ramai-ramai terkena salah satu paham dan juga terkena imbas perkembangan ilmu dan teknologi, Islam tidak ikut-ikutan karena Islam itu sangat menghargai manusia. Karena manusiaa sebagai makhluk istimewa ciptaan Allah, pemahaman yang seperti ini adalah pemahaman yang kurang bersahabat dengan lingkungan. Karena menganggap bahwa manusia adalah segala-galanya, faham seperti itu hingga sekarang masih ada dan berkembang di lingkungan masyarakat, kalau hal itu dikembangkan terus, berarti mendorong kita untuk merusak lingkungan. Padahal sebenarnya agama Islam itu bisa kita kemas menjadi agama yang holistis, agama yang proporsional dan agama yang ramah terhadap lingkungan, jadi artikulasi keramaham agama terhadap lingkungan ini yang harus kita kembangkan. Mencari rejeki mengelola sumberdaya lingkungan itu dianjurkan tetapi harus ada tanggungjawab, kalau kita mau menggunakan maka kita juga harus bersedia merawat dan melestarikan. Disini ada tiga pilar etika Islam yang pertama adalah asas tanggungjawab yang kedua asas penghematan dan ketiga asas peri kemakhlukan. Jadi dalam Islam dikembangkan bahwa hidup itu harus hemat sebab sumberdaya alam ternyata terbatas, energi matahari juga terbatas, kalau sumber itu sampai habis maka habis pula riwayat manusia. Disamping itu sumber air juga terbatas, maka kita harus hemat air, kita setiap hari menggunakan air tetapi kita tidak pernah berfikir bagaimana kita bertanggungjawab untuk membangun sumber air itu dari mana, bahwa sumebr air itu dari pohon yang bisa menyimpan air. Kita tidak pernah berfikir bahwa jariyah pohon itu termasuk amal jariyah yang bisa melestarikan kehidupan kita. Kalau kita wakaf hanya untuk Masjid untuk pondok pesantren, untuk sekolahan tetapi kita tidak pernah wakaf untuk hutan, untuk taman,dan seterusnya, kita bikin rumah tetapi tidak pernah befikir bagaimana membuat sumur resapan. Jadi kalau kita mau membangun apa saja harus memiliki tanggungjawab bahwa sumebr air itu asalnya dari mana, nah disitulah sebenarnya kami mengembangkan yang namanya Fiqh Lingkungan.

Apa yang dimaksud Fiqh Lingkungan itu?

Sebagai penjabaran dari agama Islam yang kita yakini adalah ramah terhadap lingkungan, maka untuk bisa dijabarkan dalam panduan-panduan yang lebih operasional, nah disitulah adanya pedomena yang disebut sebagai Fiqh Lingkungan. Fiqh Lingkungan itu diperlukan untuk panduan opersional dalam membangun fasilitas kehidupan manusia dengan dilengkapi lingkungan yang asri taman-taman yang rindang sejuk dan indah dipandang konsep ini sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Ton.

* Guru besar IAIN Walisongo Semarang



Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?