Sunday, June 18, 2006

 
Adakah Feminisme ala Immawati ?
oleh: Heni Sulistyorini*


Budaya patriarki mengarahkan perempuan pada posisi tersubordinasi, termarginalkan, dan tertindas oleh dominasi laki-laki. Bangunan masyarakat seperti ini telah mengakar kuat dalam kehidupan dan mendapat legitimasi dari nilai-nilai sosial, hukum negara bahkan agama.
Dalam perspektif feminis, kondisi sosial yang tidak egaliter ini disebabkan karena adanya ketidakadilan gender. Spesifikasi peran laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik secara terstruktur membentuk kelas sosial yang timpang. Anggapan dunia domestik tidak produktif dan tidak bernilai daripada dunia publik, menempatkan perempuan sebagai kaum proletar tertindas dan laki-laki sebagai kaum borjuis (penguasa). Karenanya feminis menganggap perlu adanya transformasi sosial yang memungkinkan perempuan untuk memperoleh kebebasan dalam menentukan peran serta keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat.
Sekalipun para feminis mempunyai kesadaran yang sama tentang adanya ketidakadilan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menganalisis sebab-sebab terjadinya ketidakadilan serta target dan bentuk perjuangan mereka. Perbedaan perspektif tersebut melahirkan empat aliran besar feminisme, yaitu feminisme liberal, feminisme Marxis, Feminisme Radikal, dan Feminisme Sosialis yang digolongkan sebagai feminisme modern. Kemudian pada tahun 1980-an muncul aliran baru feminisme yang dikenal dengan ekofeminisme (feminisme kultural).
1. Feminisme Liberal
Golongan ini berasumsi bahwa kebebasan dan keseimbangan berakar pada rasionalitas. Bagi mereka keterbelakangan perempuan yang terjadi selama ini disebabkan karena perempuan bersikap irasional dan berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional(agama, tradisi, dan budaya). Sikap seperti ini mengungkung perempuan dalam dunia domestik tidak produktif. Karenanya keterlibatan perempuan dalam dunia publik mutlak adanya. Menurut mereka keterlibatan perempuan dalam industrialisasi dan modernisasi adalah jalan yang harus ditempuh untuk meningkatkan status perempuan.
2. Feminisme Marxis
Golongan ini berlandaskan pada teori konflik Karl Marx, yang memandang hak kepemilikan pribadi (private property) adalah kelembagaan yang mengahancurkan keadilan dan kesamaan kesempatan serta menjadi pemicu konflik dalam masyarakat. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi sehingga persoalan perempuan selalu ditempatkan dalam kerangka kritik atas kapitalsme. Memutuskan hubungan dengan kapitalisme internasional (revolusi) dan menciptakann sistem yang sosialis adalah solusi yang mereka tawarkan. Keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Menurut mereka melakukan proses revolusi saja tidaklah cukup untuk menjamin terwujudnya persamaan bagi perempuan.
Menurut Engels, perempuan akan mencapai pada keadaan setimbang sejati manakala urusan domestik(mengurus rumah tangga) ditransformasikan menjadi industri sosial, dan urusan menjaga, mendidik anak menjadi urusan umum. Bagi teori Marxis klasik, perubahan status sosial perempuan akan terjadi melalui revolusi sosialis dengan menghapuskan pekerjaan domestik (rumah tangga) melalui industrialisasi.
3. Feminisme Radikal
Manifesto feminisme radikal yang diterbitkan dalam Notes from the second sex (1970) mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk penindasan perempuan, sehingga tugas utama feminis radikal adalah menolak intuisi keluarga. Bagi mereka keluarga dianggap sebagai intuisi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki) sehingga perempuan tertindas.
Bagi mereka keterlepasan hubungan perempuan dari laki-laki atau paling sedikit pemisahan perasaan, dengan jalan mengembangkan kesanggupan untuk berdiri sendiri adalah solusi untuk mengangkat derajat perempuan. Menurut mereka selama hubungan itu masih terjalin perempuan tidak akan mungkin mampu melawan laki-laki dan tetap tertindas. Hal ini disebabkan karena ada korelasi negatif antara kebutuhan untuk mendapat persamaan dengan kesempatan untuk saling mencintai.
Bagi kaum feminis radikal,personal is political,dimana revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan hanya dapat terjadi pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri. Feminis radikal ekstrim menganggap perempuan lesbian adalah perempuan mandiri yang telah terbebas dari dominasi laki-laki.
4. Feminisme Sosialis
Feminisme sosialis mensintesis perspektif feminis antara teori kelas Marxis dan the personal is political dari kaum radikal. Bentuk sintesis tersebut adalah Teori Zillah Eisenstein Capitalist Patriarchy, yaitu teori yang menyamakan dialektika struktur kelas dengan struktur hierarki seksual.
Menurut mereka, perempuan sebagai bagian dari kelas proletar, juga ditekan oleh kapitalisme dan patriarki untuk mencapai nilai esensi mereka. Hanya saja banyak perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarki. Oleh karena itu proses penyadaran sebagai usaha untuk membangkitkan rasa emosi (emotional arousal) pada para perempuan agar mereka bangkit untuk mengubah keadaannya, merupakan tema sentral dari gerakan feminisme sosialis. Timbulnya kesadaran ini akan membuat perempuan bangkit secara emosinya dan secara kelompok diharapkan mampu mengadakan konflik langsung terhadap kelompok dominan (laki-laki). Semakin tinggi tingkat konflik anatara kelas perempuan dengan kelas dominan diharapkan dapat meruntuhkan sistem patriarki.
5. Ekofeminisme
Ekofeminisme berasumsi bahwa perempuan sebagai individu harus dilihat secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungan. Mereka cenderung menerima perbedaan laki-laki dan perempuan. Menurut mereka perbedaan gender bukan semata-mata karena konstruksi sosial budaya namun juga intrinsik. Dengan kata lain, kaum ekofeminis membangun paradigma bahwa yang seharusnya terjadi adalah penerimaan yang setara dari masyarakat tentang kefemininan perempuan dan segala hal yang secara sadar diketahui sebagai konstruksi kekhasan biologis wanita.
Untuk meruntuhkan sistem patriarki mereka menganjurkan untuk melakukan transformasi sosial melalui perubahan internal yang revolusioner, yaitu dengan menonjolkan kualitas feminin dalam dunia maskulin. Keberadaan kualitas feminin inilah yang dapat mengubah sistem patriarki yang hierarkis dan dominatif menjadi sistem matriarki yang egaliter. Mereka mengajak perempuan-perempuan untuk meningkatkan kualitas feminin mereka agar dominasi sistem maskulin dapat diimbangi, sehingga kerusakan alam, dekadensi moral yang semakin menghawatirkan dapat dikurangi.

Perbedaan pendekatan pola pertama (feminisme modern) dengan pola kedua (feminisme kultural)telah banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan feminis sendiri, bahkan rasa ambivalensi pada para feminis.para feminis modern mengkritik kelompok kedua sebagai pola yang justru melanggengkan sistem patriarki. Karena romantisme kualitas feminin akan menyebabkan perempuan tetap pada posisinya sebagai figur pengasuh, pasif, dan pemelihara yang akhirnya cocok untuk menjadi ibu dan pekerjaan-pekerjaan di sektor domestik. Sedangkan kelompok kedua mengkritik kelompok pertama karena pendekatannya tidak akan meruntuhkan sistem patriarki pada dunia maskulin. Para perempuan dianggap akan menjadi male clone (tiruan laki-laki) di dunia maskulin, karena mereka telah mengadopsi kualitas maskulin (kompetitif, ambisi vertikal, dan memenuhi kepentingan pribadi).
By the way, sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria, feminisme telah mampu menciptakan kesempatan-kesempatan bagi perempuan untuk berkarya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Meskipun kesempatan yang diambil perempuan kadang justru menjadikan perempuan menjadi kaum proletar gaya baru.
Lalu, dimanakah Immawati? Apakah Immawati sebagai salah satu gerakan feminisme? Adakah feminisme ala Immawati? Atau………?
Dalam konteks relasi gender, Immawati sebagai perempuan secara fungsional dapat berperan menjadi “mitra penyeimbang” yang kompetitif-aspiratif (amar ma’ruf) bagi laki-laki (Q.S An-Nisa 124) dan sekaligus menjadi “oposan loyal” yang melaksanakan peran korektif-instruksional (nahi munkar) terhadap kaum pria (At-Taubah:71).
Selanjutnya, Immawati sebagai gerakan sosial keagamaan yang bernaung di bawah IMM merupakan wadah khusus bagi IMM untuk memberdayakan fungsi dan peran-peran keummatan terutama yang terkait dengan persoalan perempuan. Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna perjuangan Aisyiyah, Immawati memiliki ruang gerak yang lebih besar dari Nasyiatul Aisyiyah (NA). Keanggotaan yang homogen dari tingkatan akademik, seharusnya dapat menjadi kekuatan yang mampu melakukan aksi nyata keberpihakan terhadap perempuan. Namun seperti apakah bentuk keberpihakan Immawati terhadap perempuan?

*Ketua I (Organisasi) PK IMM Hamka Semarang periode 2004-2005, Mahasiswa jurusan Kimia Universitas Negeri Semarang.


Daftar Pustaka:

Al-qur’an Al-Karim.

Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). 2003. Keputusan Tanwir XVI Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

Mansour Fakih. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nasyithotul Jannah. 2005. ‘Gender dan Implementasinya dalam Pemikiran Islam (Sebuah Perspektif, Reflektif sekaligus Autokritik seorang Perempuan)’. Makalah disajikan dalam Pendidikan Khusus Immawati Se-Jawa. IMM Magelang. 22 Mei 2005.

Pusat Bahasa Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Siti Muslikhati. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani.


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?